Dua puluh tahun yang lalu di sebuah desa terpencil di pedalaman Sulawesi. Saya dilahirkan oleh orangtua yang akrab dengan buku, saya diajari merangkak, diajari berjalan, diajari membaca huruf-huruf abjad a,b,c,d,e dan seterusnya. Orangtua saya begitu akrab dengan buku, terlebih buku-buku bahan ajar, karena waktu itu Ayah saya adalah salah seorang Guru di kampung saya yang jauh dari Perpustakaan Daerah, apalagi toko-toko buku.
Di rumah itulah saya mulai mengenal, bergaul, bercengkrama dengan sesuatu bernama buku. Karena pada usia 6-12 Tahun seorang anak, mudah sekali meniru apa yang dilihat, apa yang dilakukan orang-orang terdekatnya, misalnya orangtuanya. Orangtua saya selalu menyempatkan waktunya untuk membaca buku di rumah setiap akhir pekan.
Di rumah ada begitu banyak bahan bacaan;
buku, majalah, koran dan lainnya. Waktu itu saya selalu penasaran dengan semua
hal yang ada di dalamnya. Akhirnya saya mulai membaca dengan niat untuk mengisi
waktu luang dan tentu untuk mengetahui apa saja yang ada dan terjadi di dunia
yang fana ini. Apa lagi di tahun 20-an awal, internet tidak begitu massif
seperti di era sekarang. Tentu keduanya punya kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Internet bisa jadi batu terjal yang menyadung—juga bisa jadi
suatu batu pijakan untuk melompat lebih jauh dalam konteks memahami, mengenali
ilmu, berimajinasi dan tentu saja memperhalus perasaan.
Salah satu akses pengetahuan, saluran informasi saat itu adalah barang-barang cetak seperti buku, majalah dan koran. Pelan-pelan saya mulai menyukai aktivitas itu hingga sekarang. Dulu, saya merasa berada di mana-mana, apalagi ketika membaca buku geografi—dalam diri saya bergumam “suatu saat saya akan berkunjung ke tempat-tempat yang saya baca, kota-kota yang saya lihat di peta.
Salah satu akses pengetahuan, saluran informasi saat itu adalah barang-barang cetak seperti buku, majalah dan koran. Pelan-pelan saya mulai menyukai aktivitas itu hingga sekarang. Dulu, saya merasa berada di mana-mana, apalagi ketika membaca buku geografi—dalam diri saya bergumam “suatu saat saya akan berkunjung ke tempat-tempat yang saya baca, kota-kota yang saya lihat di peta.
Arus informasi dan perkembangan teknologi digital abad 21 telah banyak membuat kita bisa mengakses apa saja, tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Teknologi digital mesti dimaanfatkan untuk mengkases bahan bacaan untuk anak, jika seorang anak lebih banyak menghabiskan waktunya di balik layar gadget. Perpustakaan Nasional telah menyediakan aplikasi meminjam buku online. Ia dapat diakses melalui aplikasi Ipusnas. Seorang anak tentu perlu didampingi dalam melakukan hal apa saja agar efisien.
Saya salah satu orang yang tidak sependat dengan gagasan membatasi gadget kepada anak. Internet akan menjadi buruk atau menjadi batu yang menggajal pertumbuhan anak jika ia dibebaskan membaca, mengakses apa saja. Ia perlu pendampingan sampai ia mengerti takaran baik dan buruk itu. Biarkan anak itu tumbuh dengan membaca, entah dari bacaan seperti media cetak seperti buku, koran dan majalah. Atau pun membaca di media digital ebook, artikel atau jurnal-jurnal di internet.
Saat saya kuliah, saya benar-benar menyadari betapa berharganya
dapat mengenal, mengakses dan membaca buku, ia mengasah imajinasi saya tentang
sesuatu hal, ia membawa saya lebih teliti terhadap arus informasi yang begitu
massif datang, ia membawa saya berkunjung ke tempat-tempat yang belum pernah
kunjungi secara nyata.
Comments
Post a Comment