Bagaimana trauma itu bekerja dalam peristiwa sejarah dalam sebuah karya sastra, bagaimana karya sastra bekerja melawan stigmatiasi rasial atau identitas kemanusiaan kita?
Dalam banyak literatur perihal yang tidak diceritakan sejarah, dapat diceritakan dalam sebuah karya sastra, dalam hal ini pada novel. Peristiwa sejarah, peristiwa kemanusian, tragedi dan hal-hal yang sungguh lama tertanam di kepala kita—terceritakan dengan gamblang, jujur dan menyentuh sisi kemanusiaan manusia.
Karya sastra banyak yang berpijak atau berdasarkan pada fakta dan kenyataan sejarah pada masanya. Meski ada perdebatan tentang korelasi dan posisi antara sejarah dan karya sastra yang umumnya berpusat pada pertentangan antara aspek fakta dan fiksi, namun terdapat semacam intertekstualitas yang menjembatani peran kedua ranah tersebut.
Yang lebih spesifik dalam novel tentu saja. Novel Dari Dalam yang ditulis Soe Tjen Marching dan diterbitkan oleh Marjin Kiri (2020) membentangkan kisah-kisah kelam masa lalu yang nyata, ihwal keluarga, hubungan ibu dan anak, relasi kuasa dan identitas rasial. Dari Dalam Kubur berusaha sebisa mungkin untuk menggurkan stigmatiasi peristiwa, pikiran-pikiran yang kolonialisme yang banyak orang masih mengimaninya.
Novel ini lahir dari sebuah riset yang mendalam, bahkan pada pembuka atau halaman pertama buku ini, Soe Tjen menuliskan “kisah ini lebih nyata dari kisah nyata”. Sebuah penegasan bahwa karya fiksi, tidak serta merta hanya sebuah peristiwa imajiner, namun, ia adalah suara yang perlu dan penting untuk didengarkan. Novel adalah medium untuk menyuarakan kebenaran yang dikaburkan sejarah dengan metafora yang lebih mudah dimengerti.
Novel ini menjadi menarik sebab sangat jarang ada penulis, alih-alih perempuan yang menuliskan kisah sejarah dalam hal ini peristiwa 1965, meskipun novel setebal 508 halaman ini sangat-sangat kompleks membahas banyak hal. Mengutip Eka Kurniawan pada halaman belakang buku ini; “Soe Tjen menceritakan kisah keluarga, terutama hubungan anak perempuan dan ibunya yang misterius, sekaligus membuka kisah yang lebih luas. Kita bisa melacak jejak tragedi negeri ini melalui kisah mereka yang tersembunyi, menguak kompleksitas dan kepahitan rasialisme, agama, bahkan kasta dalam masyarakat. Namun tak seperti novel-novel politik yang sibuk berteriak-teriak, ia tetap kisah manusia-manusia yang dipertalikan satu sama lain oleh kemanusiaan mereka—yang baik maupun biadab.”
Novel ini berangkat dari tulisan nonfiksi yang lebih dulu diterbitkan Amsterdam University Press, The End of Silence: Accounts of the 1965 Genocide in Indonesia. Soe Tjen seorang Indonesianis yang kini sebagai dosen linguistik dan budaya di SOAS University of London, Inggris.
Apa yang tak bisa disampaikan nonfiksi bisa diceritakan fiksi secara lebih mendalam. Dari keyakinan itulah, lahir Dari Dalam Kubur. Soe Tjen membentang kisah dari cerita seorang Karla, anak perempuan yang besar dalam keluarga Tionghoa di Malang dengan setting peristiwa 1970-an. Sejak awal ia merasa diperlakukan tidak adil oleh keluarganya, juga pertanyaan-pertanyaannya sendiri mengapa kulitnya lebih gelap ketimbang mereka. Dari Dalam Kubur mengangkat cerita tentang kehidupan seorang perempuan beretnis Tionghoa yang harus melahirkan seorang anak dari hasil pemerkosaan terhadap dirinya, Widya.
Anak yang lahir dari pemerkosaan tersebut bernama Karla. Anak tersebut terus hidup dan bertumbuh, namun kemudian di lingkungan sosial, Karla mendapatkan diskriminas, di sekolah, di rumah dan di lingkungan ia tinggal dan menetap.
Pernahkah kau membayangkan menjadi seorang anak kecil yang lugu, lalu kau dibatasi ruang gerakmu, lingkunganmu memperlakukan kau tidak seperti selayakanya manusia alih-alih seorang anak kecil.
Karla tumbuh tidak seperti anak keturunan Tionghoa yang lain, yang berkulit cerah dan bermata sipit, namun ia secara fisik, berkulit lebih gelap. Karena hal itu ia diasingkan oleh lingkungan sosialnya. Trauma psikologis tersebut terbawa hingga Karla tumbuh menjadi dewasa yang pada akhinrya membenci dirinya sendiri, membenci ibunya, membenci keluarganya.
Buku ini menyadarkan saya pada satu hal, bahwa tragedi, tubuh dan peristiwa bertautan dengan kekuasaan yang dominan. Bahwa kemanusiaan lebih penting dari segala hal yang kita temui di mana pun kita berada. Manusia bisa saja mendiskriminasi dengan istilah-istilah dan cerita-cerita baru. Mereka bisa menciptakan diskriminasi apapun bila mau, begitu pula dengan rasisme tidak diciptakan oleh warna kulit atau bangsa apapun.
Rasisme dan diskriminasi diciptakan dalam pikiran. Sebab, kadang-kadang, apa yang kita lakukan ke orang lain atau belum kita lakukan tapi sudah terpikirkan di kepala, tanpa disadari sebenarnya juga adalah bentuk dari diskriminasi, hanya saja barangkali kita belum merasakannya, padahal orang lain merasakan itu. Pada akhinnya karya sastra dalam hal ini novel Dari Dalam Kubur adalah sebuah narasi penting sebuah peradaban untuk menoleh kembali ke belakang, perihal segala peristiwa yang berlalu, perihal manusia, tragedi, diskriminasi, relasi kuasa.
Comments
Post a Comment