Skip to main content

Posts

Meninggalkan Makassar Setelah Wisuda. Apakah Makassar akan Menangis?

Ilustrasi by Gha Arizal M akassar adalah kata kerja, Makassar adalah ingatan yang selalu membawa kita semua merenungkannya--bukan hanya semata-mata sebuah kota metropolitan di bagian timur Indonesia, tetapi, lebih dari itu. Makassar menjelma menjadi sebuah rumah yang lain dan begitu dekat.  Makassar adalah rumah bagi begitu banyak mahasiswa dari segala penjuru, dan pelosok Indonesia, terlebih di dari kawasan timur. Makassar adalah rumah kedua bagi kami, bertemu dengan orang-orang cerdas, hebat. Setiap sudut kotanya menyimpan begitu banyak kenangan di sana. Warung-warung kopi 24 jam yang seringkali kami kunjungi, sebagai tempat kami mengerjakan tugas-tugas kuliah, skripsi dan menonton liga Inggris dan kadang kala menyaksikan kebapukan emyu, hahah, saat kedua orang tua kami di kampung sedang tertidur pulas setelah letih bekerja agar anaknya di rantau dapat hidup, agar kiriman perbulan tidak telat datang. Pelataran-pelataran kampus yang selalu kami kngunakan untuk berdiskusi tentang a

Perjalanan Seribu Kilometer

sumber:  jokedaliemen.tumblr.com Kepergian selalu diantarkan beberapa harap dan titipan , t entunya   dengan orang-orang yang kau cintai Perjalanan diawali oleh jalan-jalan yang lurus dan keceria a n — sebab kita akan kembali menemui realitas perkotaan yang serba ada Sementara kesedihan hadir di tempat berbeda   Ingatan-ing a tan masa kanak  akan dirindukan K enangan-kenangan yang tumbuh pada masa lalu akan mengusik dada hingga berdeba r — se sak Perjalanan menemui kelokan-kelokan tajam, jurang, bukit dan laut yang membenta ng  luas  Pelukan kian erat pada bangku mobil yang sempit Harapan-harapan terus tertanam di jiwa 500 KM telah dilalui Batas selatan dan tenggara Sulawesi telah menampakkan dirinya — d an pada akhirnya kita tak mampu menerobos batas-batas kewajaran manusia   Malam tiba bersama hujan yang leba t — kita memutuskan untuk singgah berteduh, memelihara cemas juga harap untuk tiba di kota tujuan — t anpa sakit apa-apa

Suara dari Tangkeno

sumber:  behance.net 1/ pada teluk Buton—angin berkelabat memecah keheningan dan kesejukan cicit burung menemani merangkai malam kita hingga pagi tandang kau memandangi Watu Sangia samb il menyeka air matamu membayangkan keangkuhan kota yang terlalu sibuk dengan kelakar semakin mengakar kata-kata kasar bertebaran  digerus ombak dan siut angin  diterbangkan hingga jauh 2/ di kaki Watu Sangia anak-anak Tangkeno bercengkrama tanpa beban apa-apa tanpa bertanya; agamamu apa kau timur atau barat selatan atau utara 3/ sesekali mereka memainkan Lolu Alu sambil menggoyangkan sebilah bambu di tangannya yang suci tidak ada raut kepedihan di wajahnya ia berbahagia berbahagia 4/ di negeri awan yang gulita keramahan ialah teman paling berharga—selain kesepian itu, katamu ia menerangi asal dan memerangi perbedaan 5/ ketamakan kedinginan ditiup angin Kabaena menusuk tulang yang tualang ke negeri tenggara 6/ pada alun tubuh ya

Perjalanan-Perjalanan yang Tak Pernah Selesai

sumber:  behance.net Ketika penghujung desember tiba, ada begitu banyak hal-hal yang dapat membawa saya ke tahun-tahun yang lalu, ke bulan-bulan lalu dan hari-hari yang telah berlalu. Desember membawa saya, kita atau barangkali kau juga untuk mengingat, merenung, dan merefeklsi hari-hari, bulan-bulan dan tahun-tahun yang telah kita lalui.  Tentu ada begitu banyak hal yang berubah dari diri kita; fisik maupun cara berfikir kita. Hari-hari yang telah kita lalui menjadi bermakna ketika hal itu telah berlalu, kita merindukan banyak hal; tempat-tempat yang pernah kita kunjungi, orang-orang yang kita kenali, kisah-kisah yang membentuk diri kita, momen-momen penting dalam hidup kita, hari-hari bersejarah, cerita-cerita penuh tangis, hari-hari penuh tawa. Tahun 2010 tepat sepuluh tahun yang lalu saya baru saja tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang belum mengenal banyak hal seperti internet salah satunya. Sepuluh tahun yang lalu itu, saya jalani tanpa listrik dan jarin

Membalas Sajak Nguyen Van Dinh

sumber:  jypg.net “ Humanity is not a theory but an action.  Indonesian people have done to us Vietnamese refugees”. Nguyen Van Dinh Nguyen jatuh berderai menjadi laut, menjadi sungai menjadi manusia layar menembus lipatan ombak, cuaca kelam, terik beriak di laut china selatan. Ia melaju jauh waktu berlayar tegang  waktu itu genderang perang ditabuh di seluruh pantai  jangkar dilemparkan dibuntuti resah, prahara  kecemasan yang membara. waktu itu laut kejam menumbangkan seorang anak kecil wanita tua, pemuda lapar, orang-orang hiper Nguyen penuh harap pada sisa nafas tidak ada lagi batas teritorial negara  ia dilenyapkan jarak antar benua, samudera, garis khatulistiwa menggelayut dengan denting jam dinding berpaut dengan maut. perahu melaju menuju galang menjadi rumah kedatangan orang Vietnam   Nguyen tinggal diam membatu di belantara karang  dengan perahu, gelas berisi teh panas, semangkok keramahan  ia diredam amarah, darah

Kita Ingin Marah Kepada Siapa? Selain Marah Kepada Diri Sendiri

sumber: mail.google.com Kemarahan memang tidak bisa jauh dari diri manusia, ia timbul ketika ekspektasi, keinginan atau situasi yang tidak dapat tercapai, kita akan marah dan menyalahkan banyak hal, hingga lupa memarahi diri sendiri. Listrik memang telah menjadi obyek vital bagi peradaban. Ketika suatu waktu di daerah tempat kita tinggal, tiba-tiba listrik padam dan kita marah, satu-satunya objek kemarahan kita tertuju pada PLN — sebagai perusahan penyedian listrik milik negara. Tetapi, padamnya listrik tentu dengan berbagai sebab, misalnya kerusakan pembangkit listrik, meledaknya transformator (trafo) atau tumbangnya tiang listrik di seberang jalan yang jauh dari keramaian, maka bersabarlah, hal itu hanyalah persoalan sederhana, ada yang lebih kompleks dari hal remeh seperti itu. Kemarahan memang tidak bisa jauh dari diri manusia, ia timbul ketika ekspektasi, keinginan atau situasi yang tidak dapat tercapai, kita akan marah dan menyalahkan banyak hal, hingg

Hal-Hal Sederhana yang Membuat Anak Membaca

Dua puluh tahun yang lalu di sebuah desa terpencil di pedalaman Sulawesi. Saya dilahirkan oleh orangtua yang akrab dengan buku, saya diajari merangkak, diajari berjalan, diajari membaca huruf-huruf abjad a,b,c,d,e dan seterusnya. Orangtua saya begitu akrab dengan buku, terlebih buku-buku bahan ajar, karena waktu itu Ayah saya adalah salah seorang Guru di kampung saya yang jauh dari Perpustakaan Daerah, apalagi toko-toko buku.  Di rumah itulah saya mulai mengenal, bergaul, bercengkrama dengan sesuatu bernama buku. Karena pada usia 6-12 Tahun seorang anak, mudah sekali meniru apa yang dilihat, apa yang dilakukan orang-orang terdekatnya, misalnya orangtuanya. Orangtua saya selalu menyempatkan waktunya untuk membaca buku di rumah setiap akhir pekan. Di rumah ada begitu banyak bahan bacaan; buku, majalah, koran dan lainnya. Waktu itu saya selalu penasaran dengan semua hal yang ada di dalamnya. Akhirnya saya mulai membaca dengan niat untuk mengisi waktu luang dan tentu untuk men